Semarang I Tema Hari Gizi Nasional ke-59 tahun 2019 adalah “Membangun Gizi Menuju Bangsa Sehat Berprestasi”. Penekanan “Sehat Berprestasi” tentu perlu mendapatkan perhatian khusus.  Prestasi yang dapat di raih dalam kondisi sehat salah satunya adalah prestasi di bidang olah raga. Dalam lingkup pembinaan olahraga berprestasi, berbagai ilmu tentu mendukung tercapainya prestasi atlet. Ilmu gizi juga ikut berkontribusi dalam meningkatkan prestasi atlet disamping ilmu psikologi, anatomi, fisiologi, pendidikan, fisioterapi, kesehatan olahraga. “Secara spesifik mengenai gizi, pemberian asupan makanan yang tepat baik kualitas dan kuantitas dapat menghasilkan kondisi fisik yang optimal serta memberikan energi yang cukup bagi atlet selama menjalankan kegiatannya. Meski demikian, masih sering terjadi kesalahan dalam manajemen gizi atlet yang menjadi salah satu kelemahan pembinaan olahraga di daerah” ungkap Dr. Ali Rosidi, M.Si Dosen Ilmu Gizi Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus). “Sangat sedikit daerah yang memiliki ahli gizi yang bisa memberikan pedoman pola makan untuk menunjang performa atlet baik sebelum pertandingan, saat pertandingan maupun setelah pertandingan” tambahnya.

“Mengingat pengalaman sebagai tim gizi kontingen DKI Jakarta pada Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau. Dari dari 34 provinsi yang berkompetisi pada PON 2016 hanya ada tiga provinsi yang melibatkan ahli gizi dalam  tim kontingen olahraganya. Ketiga provinsi tersebut, yaitu Jawa Barat (peringkat satu perolehan medali), DKI Jakarta (peringkat tiga perolehan medali), dan DI Yogyakarta (peringkat sepuluh perolehan medali)” ungkap dosen yang juga menjabat sebagai wakil dekan Fikkes Unimus. Dr. Ali Rosidi menambahkan bahwa ahli gizi dibutuhkan untuk menentukan jenis diet atlet dalam merencanakan, melaksanakan, mengawasi, mengevaluasi dalam proses penyelenggaraan atlet selama periode pemusatan latihan dan pertandingan. Ahli gizi juga dibutuhkan dalam monitoring status gizi atlet termasuk antropometri, hidrasi, konsumsi, dan daya terima terhadap makanan. Memberikan konseling dan pendidikan  gizi juga bagian yang tidak terpisahkan dari tugas dan wewenang ahli gizi dalam menangani makanan atlet.  Setiap atlet memiliki kebutuhan gizi yang berbeda sehingga diet mereka seharusnya bersifat personal (personalized diet).

Sekali-kali, mungkin kita perlu menelaah bukan hanya bagaimana pertandingan-pertandingan tersebut berlangsung, tetapi juga persiapan putra-putri terbaik bangsa ini sebelum bertanding. Saat perhelatan akbar Asian Games 2018, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi menyatakan bahwa pemerintah telah memberikan perhatian lebih kepada para atlet nasional terutama dalam hal uang, gizi, dan akomodasi. Perhatian ini diberikan dengan tujuan untuk menunjang prestasi atlet dalam pertandingan yang akan mempertaruhkan nama baik Indonesia. Namun, pada kenyatannya, “perhatian dalam hal gizi” tidak diikuti dengan penerapan praktik terbaik.

“Ketiadaan ahli gizi yang spesifik untuk setiap cabor akan mempengaruhi status gizi atlet. Pada atlet terutama atlet remaja perlu mendapat perhatian yang khusus terhadap pola makanannya dengan memperhatikan asupan gizi seimbang. Sayangnya asupan harian atlet sangat jauh dari kebutuhan hariannya, pola makannyapun belum tepat.  Hal ini patut disayangkan karena sebagai atlet masa depan Indonesia, mereka tidak sadar pentingnya gizi untuk pertumbuhan karirnya” terangnya. Seorang atlet dengan asupan gizi yang tepat membutuhkan waktu minimal sepuluh tahun hingga siap bertanding di kompetisi tingkat nasional maupun internasional. Waktu yang lama ini diperlukan untuk membentuk kebiasaan dan pola makan atlet yang tepat gizi. Ketika hal ini sudah terbentuk, terjadi adaptasi pada tubuh atlet sehingga diperoleh manfaat seperti pemulihan pasca latihan yang lebih cepat, menurunnya risiko cidera, dan meningkatnya performa. Bagaimana mungkin kita berharap mereka menang melawan atlet dari negara-negara maju yang telah menerapkan praktik terbaik gizi? Tidakkah harapan tinggi kita kurang adil bagi mereka yang gizi hariannya saja tidak tercukupi?

Dikemukakan oleh dosen yang juga Pengurus Persatuan Ahli Gizi (PERSAGI) Jawa Tengah tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh klub dan atlet untuk memperbaiki gizi mereka. Pertama, setiap cabor perlu memiliki ahli gizi khusus karena setiap cabor memiliki jenis dan porsi latihan yang berbeda. Kedua, pelatih dan atlet perlu belajar mengenai literasi gizi. Pengetahuan ini akan membantu mereka menerapkan rekomendasi dari para ahli gizi. Ketiga, klub dan organisasi yang menaungi atlet perlu menyediakan makanan yang tidak hanya bergizi tetapi juga memuaskan. Jika makanannya bergizi namun tidak membangkitkan selera, atlet tidak akan makan dalam jumlah yang cukup atau mencari alternatif makanan yang lebih memuaskan tetapi kurang bergizi. Barulah setelah kita menyelesaikan tiga pekerjaan besar ini, kita bisa kembali sedikit berharap pada atlet Indonesia. Selamat Hari Gizi ke-59, ahli gizi dari Universitas Muhammadiyah Semarang siap memfasilitasi konsultasi gizi bagi masyarakat.

Loading

Leave a Reply