Banyak analisis yang dikemukakan para pakar tentang sebab-sebab diharamkannya binatang atau makanan tertentu. Babi, misalnya, dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan cacing yang sangat berbahaya terhadap kesehatan manusia. Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter. Pada 1968 ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab dari kematian sekian banyak pasien di Belanda dan Denmark. Pada 1918, flu babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali muncul pada 1977, dan di Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi yang menelan biaya 135 juta dolar. Demikian sekelumit dari bahaya babi, sebagaimana dikemukakan oleh Faruq Musahil dalam bukunya, Tahrim Al-Khinzir fi Al-Islam.
Lemak Babi mengandung complicated fats antara lain triglycerides, dan dagingnya mengandung kolestrol yang sangat tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak daripada daging sapi. Dalam Encyclopedian Americana dijelaskan perbandingan antara kadar lemak yang terdapat pada babi, domba dan kerbau. Dalam kadar berat yang sama, babi mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak lebih dari 5%. Demikian keterangan Ahmad Syauqi Al-Fanjari dalam bukunya, Ath-Thib Al-Wiqaiy fi Al-Islam.
Banyak lagi analisis dan jawaban yang diberikan menyangkut sebab-sebab diharamkannya sekian banyak makanan. Bukan disini tempatnya, bahkan bukan penulis yang memiliki otoritas untuk menjelaskannya. Memang kita boleh saja bertanya, dan atau mencari jawaban tentang mengapa Allah Swt. Mengharamkan makanan tertentu. Boleh jadi kita puas atau tidak puas dengan jawaban yang diberikan, tetapi adalah amat bijaksana jika jawaban yang ditemukan itu – walau memuaskan – tidak dijadikan sebagai satu-satunya jawaban.
Imam Al-Ghazali memberikan ilustrasi menyangkut ‘ilat (katakanlah “sebab” atau “hikmah”) dari larangan-larangan ilahi. “Seorang ayah memiliki anak yang tinggal bersama di satu rumah. Sebelum kematian menjemputnya, sang ayah mewasiatkan kepada anaknya: ‘jika engkau ingin memugar rumah ini silahkan, tetapi tumbuhan yang terdapat diserambi rumah jangan ditebang.’ Beberapa tahun kemudian sang ayah meninggal, dan anak pun memperoleh rezeki yang memadai. Rumah dipugarnya dan ketika sampai di tumbuhan terlarang, ia berpikir, “Apakah gerangan sebabnya ayah melarang menebangnya?’ Pikirannya, kemudian sampai kepada kesimpulan bahwa aroma pohon itu harum. Dan di sisi lain, ia mengetahui bahwa telah ditemukan tumbuhan lain yang memiliki aroma lebih harum. Maka ia pun memutuskan menebang tumbuhan itu dan menggantikannya dengan tumbuhan yang lebih sedap. Tetapi apa yang terjadi ? Tidak lama kemudian muncul seekor ular, yang hampir saja menerkamnya, dan ketika itu ia sadar bahwa rupanya aroma tumbuhan itu, merupakan penangkal kehadiran ular. Ia hanya mengetahui sebagian dari ‘illat larangan ayahnya, bukan semuanya, bahkan bukan yang terpenting darinya.” Demikian lebih kurang ilustrasi Imam Al-Ghazali.
Demikian sedikit dari banyak petunjuk Al-Qur’an tentang makanan. Kita dapat menyimpulkan bahwa Al-Qur’an memerintahkan kepada kita untuk makan yang halal dan thayyib, serta yang lezat tetapi baik akibatnya. (sumber: Wawasan Al Qur’an oleh: M. Quraish Shihab (Pakar Tafsir Indonesia) by: agus/lsik